- Pengertian Aqidah
Aqidah secara bahasa berarti
'ikatan'.
Secara istilah adalah keyakinan
hati atas sesuatu.
Dalam ajaran islam, Aqidah
(al-aqidah al-islamiyah) adalah
keyakinan atas sesuatu yang
terdapat dalam apa yang di
sebut dengan
rukun iman,yaitu
keyakinan kepada Allah
MalaikatNya, Kitab-kitabNya
Rasu l- rasulNya, Hari akhir
serta taqdir baik dan
buruk. Diatas sebagai dasarnya Hadits shahih
,diriwayatkan Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khatab r.a
yang dikenal dengan sebutan ‘Hadits Jibril’.
Aqidah islam di jadikan sebagai landasan
berfikir ( qaidah fikriyah )
yang menjadi dasar manusia dalam mebangun pemikiran-pemikiran
dan membina mafahim serta muyulnya yang sekaligus membentuk
aqliyah dan nafsiyah.
Dari Uraian diatas tentang Makna dua kalimat Syahadat , seseorang
disebut muslim jika seseorang sudah membaca dua kalimat, dan
belum sempurna seorang muslim bila hatinnya belum ada aqidah
( yaitu suatu keyakinan yang di benarkan di dalam hati )
yaitu keyakinan terhadap 6 Rukun Iman .
- Kedudukan Aqidah dalam Islam
Aqidah memiliki
kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah
pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq,
adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa
pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal.
Allah berfirman;
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا Artinya: “Maka
barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka
hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110
)
Allah swt juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ
وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan
sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa
jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan
hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya aqidah di
atas tadi, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam
dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah
dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan
nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup
panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu
tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan
ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti
menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau
landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya.
Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di
Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih
selama sepuluh tahun.
- Sumber-sumber Aqidah Islam
Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat Tauqifi,
artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil
dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah
terbatas pada al-Quran dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih
tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih
tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.
- Metode Memahami Aqidah Islam dari Sumber-sumbernya Menurut Para Shahabat
Generasi para shahabat adalah generasi
yang dinyatakan oleh Rasululah sebagai generasi terbaik kaum muslimin.
Kebaikan mereka terletak pada pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas
ajaran-ajaran Islam secara benar dan kaffah. Ada generasi awal yang menyaksikan
langsung turunnya wahyu, dan mereka mendapat pengajaran dan pendidikan
langsung dari Rasulullah saw. Setelah generasi shahabat, generasi
berikutnya dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh generasi
tabi’ut tabi’in. Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai GENERASI SALAF.
Rasulullah bersabda ;
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ…
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya…”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Generasi
Salaf yang Shalih mengambil pemahaman aqidah adalahdari al-Quran dan sunnah. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam
kedua sumber itu, mereka meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan
diri dengan kedua sumber tersebut dalam menetapkan atau meniadakan suatu
pemahaman yang menjadi dasar aqidah atau keyakinan.
Dengan metode di atas, maka para
shahabat, dan generasi berikutnya yang mengikuti mereka dangan baik
(ihsan), mereka beraqidah dengan aqidah yang sama. Di kalangan mereka
tidak terjadi perselisihan dalam masalah aqidah. Kalau pun ada
perbedaan, maka perbedaan di kalangan mereka hanyalah dalam masalah
hukum yang bersifat cabang furu'iyyah , bukan dalam masalah-masalah yang pokok ushuliyyah.
Seperti para imam madzhab
yang empat, yaitu
Imam Abu Hanifah (tahun 699-767 M)
Imam Malik (tahun
712-797)
Imam Syafi’i (tahun 767-820)
Imam Ahmad (tahun 780-855
M).
Mereka dipersaksikan oleh Rasulullah saw sebagai golongan yang selamat, sebagaimana sabda beliau,
قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
Artinya: “Mereka
(golongan yang selamat) adalah orang-orang yang berada di atas suatu
prinsip seperti halnya saya dan para shahabat saya telah berjalan di
atasnya.”
(H.R. Tirmidzi)
Aqidah islamiyah adalah jalan menuju Iman
Agama Islam telah menangani problematika utama manusia. Agama Islam
memecahkan problematika utama manusia berupa posisi dan eksistensi
manusia di dunia dalam keterkaitan dengan sebelum dunia dan setelah
dunia sehingga mendapatkan kebangkitan yang hakiki. Agama Islam
menyelesaikan problematika utama manusia dengan pemecahan yang sesuai
dengan fitrah, memuaskan akal serta memberi ketenangan jiwa. Bahkan
agama Islam telah menetapkan bahwa untuk memeluk agama Islam bergantung
sepenuhnya pada pengakuan/keyakinan terhadap pemecahan ini.
PERCAYA KEPADA ALLAH SWT
Agama
Islam dibangun atas satu dasar yaitu
Di balik alam semesta, manusia
dan kehidupan ada pencipta yang mutlak yang telah menciptakan
ketiganya, dan yang telah menciptakan segala sesuatu lainnya. Dialah
Tuhan Sang Maha Pencipta.
Bukti-bukti yang menunjukkan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta dapat ditelusuri sebagai berikut :
1.
Tuhan, Sang Maha Pencipta, telah menciptakan segala sesuatu dari tidak
ada sehingga Ia bukan makhluk (yang diciptakan), sebab sifatnya
sebagai Al khaliq (Sang Pencipta), memastikan bahwa Dia bukan makhluk.
Bahkan hal itu memastikan pula bahwa Dia, Sang Maha Pencipta, wajibul
wujud (ada secara mutlak), karena segala sesuatu menyandarkan wujudnya
kepada diriNya, sedangkan Dia tidak bersandar pada sesuatu apapun.
2.
Manusia tidak dapat memungkiri bahwa terdapat Tuhan Sang Maha
Pencipta. Manusia menyadari bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan
bersifat lemah dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya
manusia, ia terbatas sifatnya, karena tumbuh dan berkembang tergantung
kepada hal lain, sampai suatu batas yang tak dapat dilampauinya lagi.
Begitu pula dengan kehidupan (nyawa), Ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakannya bersifat individual belaka. Selain itu, kita semua
menyaksikan bahwa kehidupan itu berhenti pada satu individu saja. Jadi
kehidupan bersifat terbatas. Demikian pula dengan alam semesta. Alam
semesta merupakan kumpulan benda-benda yang terbatas dan bersifat
terbatas Jadi, manusia, kehidupan dan alam semesta bersifat terbatas.
Manusia menaydari bahwa terhadap sesuatu yang terbatas, pasti sesuatu
tersebut berawal dan berakhir. Sesuatu yang berawal dan berakhir tentu
diciptakan oleh sesuatu yang lain. Al khaliq adalah Dzat Yang
Menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan.
Jika ada yang
menyatakan bahwa Sang Maha Pencipta sesungguhnya sama dengan
ciptaanNYA, yaitu makhluk, maka hal itu adalah pandangan yang keliru.
Jika ia diciptakan, berarti ia terbatas dan bukan pencipta yang
sesungguhnya. Dengan kata lain Sang Maha Pencipta tidak mungkin
sekaligus menjadi makhluk atau sebaliknya, makhluk tidak mungkin
sekaligus Sang Maha Pencipta. Sang Maha Pencipta wajibul wujud dan
dialah yang menciptakan seluruh makhluk.
Demikian juga, merupakan
pernyataan yang keliru jika menyatakan bahwa Sang Maha Pencipta
menciptakan diri mereka sendiri. Tidak mungkin dua sifat yang
berlawanan (pencipta dan yang diciptakan) ada pada satu benda pada saat
yang bersamaan. Sang Maha Pencipta (khaliq) tidak boleh tidak harus
bersifat azali dan wajibul wujud. Sang Maha Pencipta tersebut adalah
Allah SWT.
Penggunaan Akal
Iman kepada Yang Maha Pencipta,
merupakan hal yang fitri dalam diri manusia. Akan tetapi iman yang
fitri ini hanya muncul dari perasaan belaka. Padahal perasaan tidak
dapat dijadikan sebagai acuan, sebab perasaan sering menambah-nambah
terhadap apa yang diimani, yaitu dikaitkan dengan sesuatu yang
realistis. Bahkan mengkhayalkan sifat-sifat tertentu yang lazim,
terhadap apa yang diimani, sehingga dapat menjerumuskan ke arah
kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khura¬fat (cerita bohong)
dan kebatilan lain, muncul karena perasaan hati yang salah dalam
beriman kepada Allah SWT.
Islam tidak membiarkan perasaan hati ini
sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Islam menegaskan perlunya
penggunaan akal bersama-sama perasaan hati dalam beriman kepada Allah
SWT. Bahkan Islam melarang manusia untuk ber-taqlid dalam urusan
aqidah. Islam menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman. Islam
mewajibkan manusia untuk menjadikan imannya benar-benar timbul dari
proses berpikir. Hal itu dapat diketahui dari berbagai dalil yang
merupakan seruan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam
rangka mencari petunjuk untuk beriman kepada Sang Maha Pencipta.
Ratusan
ayat dalam Al Qur’an telah menyeru untuk berfikir hingga membenarkan
dengan pasti keberadaan Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal"
(QS Ali Imran 190)
Semua dalil tersebut ditujukan kepada manusia agar
iman muncul dari akal dan bukti. Semua Dalil tersebut juga
memperingatkan manusia untuk tidak mengambil jalan yang telah ditempuh
oleh nenek moyang, yang telah merasa puas terhadap apa yang telah
mereka temui tanpa meneliti dan mengujinya lagi untuk mengetahui
kebenaran. Hasilnya adalah keimanan yang sahih kepada Allah SWT.
Inilah iman yang jernih, iman yang sampai kepada yaqin akan adanya
Allah SWT, karena diperoleh melalui pengamatan dan perenungannya.
Kendati
wajib atas manusia untuk menggunakan akal dalam mencapai iman kepada
Allah SWT, namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa yang di luar
jangkauan indera dan akalnya. Hal ini karena akal manusia terbatas.
Betapapun tinggi tingkatannya, tetap saja ia terbatas, dan tumbuh dalam
batas-batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Karena itu
pemahamannya pun terbatas adanya. Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk
memahami dzat Allah, sebab Allah berada di luar ketiga unsur pokok
alami (alam semesta, manusia dan kehidupan). Akal manusia itu sendiri
tidak mampu untuk memahami apa yang di balik dirinya, maka ia tak mampu
untuk mencapai dzat Allah.
Namun tidak dapat dikatakan : “Bagaimana
mungkin orang dapat beriman kepada Allah, sedangkan akalnya sendiri
tidak mampu memahami dzat Allah?” Tidak, tidak bisa dikatakan begitu.
Hakekatnya iman itu adalah percaya akan adanya (wujudnya) Allah, yang
mana hal ini dapat dipahami melalui wujud makhluk-makhlukNya, yaitu
alam semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya berada dalam batas-batas
yang dapat dicapai oleh akal.
PERCAYA KEPADA KITABULLAH DAN RASULULLAH
Jika
akal telah beriman kepada Allah SWT, maka persoalan yang berkaitan
dengan asal manusia, alam se¬mesta dan kehidupan telah terpecahkan
dengan sempurna. Allah SWT adalah Sang Maha Pencipta. Allah SWT telah
menciptakan seluruh makhlukNYA beupa alam semesta, manusia dan
kehidupan. Persoalan berikutnya yang harus dipe¬cahkan adalah persoalan
hakekat hidup, tujuan hidup, bagaimana manusia harus menjalani
kehidupan dan memecahkan segala problema¬tikanya. dan bagaimana manusia
setelah mati.
Jawaban dari persoalan tersebut juga merupakan
kebutuhan dasar seluruh manusia. Oleh karena itu jawaban tersebut
harus merupakan jawaban yang pasti dan meyakinkan. Jawaban yang pasti
dan meyakinkan tersebut hanya bisa dihasilkan melalui informasi yang
diberikan Allah kepada manusia, disebabkan dua hal, sebagai berikut :
1.
Allah SWT adalah Sang Maha Pencipta, Yang menciptakan alam semesta,
manusia dan kehidupan sehingga adalah Yang Maha Mengetahui, termasuk
mengetahui alam semesta, manusia dan kehidupan. Berdasarkan hal itu,
informasi dan pemecahan terhadap permasalahan kehidupan manusia yang
berasal dari Allah SWT pasti benar secara meyakinkan.
2. Manusia,
hanyalah makhluk sehingga pemecahan permasalahan kehidupan yang berasal
dari manusia penuh ketidakpastian, membingungkan, bahkan bisa
menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri.
Oleh karena itu,
sebagai kasih sayang kepada manusia, Allah SWT telah memberikan
petunjuk berupa hakekat hidup, tujuan hidup, bagaimana manusia harus
menjalani kehidupan dan memecahkan segala problema¬tikanya dan
bagaimana manusia setelah mati. Petunjuk tersebut adalah petunjuk yang
pasti dan meyakinkan. Jika petunjuk itu digunakan maka persoalan
dasar manusia akan terpecahkan dan manusia akan menjalani kehidupan di
dunia dan akhirat dengan penuh kebahagiaan.
Kalamullah adalah
petunjuk yang pasti dan meyakinkan dari Allah SWT. Kalamullah berisi
petunjuk yang dibutuhkan manusia dalam memecahkan permasalahan
kehidupannya dan bagaimana setelah mati. Kalamullah adalah petunjuk
yang membawa manusia kepada kehidupan dunia dan akhirat.
Kalamullah
sampai kepada umat manusia tidak melalui ilham, wangsit atau mimpi
tetapi melalui para Nabi dan Rasul. Jika kalamullah sampai kepada
manusia melalui ilham, wangsit atau mimpi pasti akan terjadi kekacauan
dalam kehidupan manusia. Ada kemungkinan setiap manusia merasa telah
mendapatkan ilham, wangsit atau mimpi. Dampaknya, akan terjadi
perpecahan yang dahsyat di tengah manusia tanpa bisa diselesaikan.
Kalamullah
sampai kepada manusia melalui para nabi dan rasul. Bukti yang paling
jelas berupa kebutuhan manusia kepada Nabi dan Rasul dalam beribadah
kepada Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu melakukan
peribadahan kepada Allah, sebab peribadahan adalah suatu hal yang fitri
dalam diri manusia dalam rangka mentaqdiskan (mensucikan) Penciptanya.
Aktivitas mentaqdiskan di¬namakan ibadah, yang merupakan tali
penghubung antara manusia dan Penciptanya.
Apabila hubungan ini
dibiarkan sendiri tanpa aturan, akan cenderung menimbul¬kan kekacauan
ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan kepada selain Allah
SWT. Jadi harus ada aturan ibadah. Hanya saja aturan ini tidak boleh
datang dari fihak manusia, karena manusia tidak mampu memahami apakah
perbuatan ibadah yang dilakukan diterima atau ditolak allah SWT.
Aturan ini harus datang dari Allah SWT.
Aturan peribadatan ini sampai
kepada manusia, melalui para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain Nabi
dan Rasul adalah sumber untuk menunjukkan peribadatan yang diterima
Allah SWT. Oleh karena itu, harus ada para Nabi dan Rasul yang
menunjukkan peribadatan yang diterima Allah.
Bukti lain akan
kebutuhan manusia terhadap para Rasul adalah bahwa pemuasan manusia
akan tuntutan gharizah (naluri) serta kebutuhan-kebutuhan jasmaninya
adalah merupakan yang mutlak perlu. Pemuasan semacam ini apabila
dibiarkan berjalan tanpa suatu aturan akan menjurus ke arah pemuasan
yang salah dan berlebihan serta akan menyebabkan mala petaka terhadap
umat manusia. Oleh karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah
dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini.
Hanya saja aturan ini tidak
boleh datang dari pihak manusia, sebab pema¬haman manusia dalam
mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani senantiasa diwarnai
kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan. Apabila
manusia dibiarkan membuat aturan sendiri, maka aturan yang ia buat pun
diwarnai kekeliruan, perselisihan dan pertentangan yang akan
menjerumuskan manusia ke dalam kenestapaan. Aturan tersebut harus
datang dari Allah SWT yang disampaikan melalui para Nabi dan Rasul.
Oleh karena itu, harus ada para Nabi dan Rasul yang menunjukkan aturan
Allah dalam hal pemenuhan gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani
manusia.
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW
Jika
akal telah beriman kepada Allah, kalamullah dan rasulullah, maka
persoalan dasar manusia sudah terjawab. Manusia diciptakan oleh Allah
SWT di dunia untuk diberikan petunjuk dariNYA yang dibawa Nabi dan
Rasulullah sehingga dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
Selanjutnya,
yang menjadi masalah adalah bagaimana akal dapat membuktikan bahwa
Rasullullah SAW benar-benar utusan Allah dan benar-benar mendapat
wahyu dari Allah. Akal harus mampu membuktikan sebab petunjuk dari
Allah SWT sampai hari kiamat kelak adalah melalui Rasulullah SAW. Jika
akal tidak mampu membuktikan kenabian Rasulullah SAW, maka keterikatan
terhadap agama Islam pada diri seseorang menjadi lemah.
Akal dapat
membuktikan kenabian Rasulullah SAW dengan cara membuktikan bahwa Al
Qur’an adalah wahyu Allah. Jika terbukti bahwa Al Qur’an adalah wahyu
Allah, maka pembawa Al Qur’an kepada manusia, yaitu Rasulullah SAW
pastilah nabiyullah dan Rasulullah.
Bukti bahwa Al-Qur'an itu datang
dari Allah dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al-Qur'an itu sebuah
kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dalam menentukan
dari mana Al-Qur'an itu berasal, dapat kita jumpai adanya tiga
kemungkinan atas asal-usulnya. Kemungkinan pertama, ia merupakan
karangan bangsa Arab. Kemungkinan kedua, ia merupakan karangan Muhammad
SAW. Kemungkinan ketiga, Ia berasal dari Allah SWT semata. Tidak ada
kemungkinan lain selain dari yang ketiga ini sebab Al-Qur'an adalah
khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gaya.
Kemungkinan yang
pertama, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan karangan bangsa Arab
adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al-Qur'an sendiri telah
menantang mereka untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera
dalam ayat "Katakanlah: “Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat)
menyamainya " (QS Hud 13) dan di dalam ayat "Katakanlah : Kalau benar
yang kamu katakan maka cobalah datangkan sebuah surat yang
menyerupainya" (QS Yunus 38)
Orang Arab telah berusaha untuk
menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak berhasil. Jadi
Al-Qur'an bukan berasal dari perkataan mereka karena ketidakmampuan
mereka untuk menghasilkan karya yang serupa. Kendati ada tantangan dari
Al-Qur'an dan usaha dari mereka untuk membuat karya yang serupa.
Kemungkinan
yang kedua, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu
karangan Muhammad SAW,
adalah kemungkinan yang bathil pula sebab Mu¬hammad juga orang Arab.
Bagaimanapun jeniusnya ia, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang
menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama
bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal
pula apabila Muhammad yang orang arab itu juga tidak mampu
menghasilkan karya yang serupa. Jadi jelaslah bahwasannya Al-Qur'an itu
bukan karangannya
Apalagi banyak hadits-hadits shahih yang berasal
dari Nabi Muhammad saw, yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara
tawatur yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits
ini dibandingkan dengan ayat mana pun dalam Al-Qur'an, maka tidak akan
dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub). Padahal Nabi
Muhammad SAW di samping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang
diterimanya, juga dalam waktu yang bersamaan selalu mengeluarkan
hadits. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya.
Padahal bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan
berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat
kemiripan antara gaya yang satu dengan gaya yang lain sebab hal ini
merupakan bagian dari dirinya. Jadi karena tidak ada kemiripan antara
gaya bahasa Al-Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka pasti Al-Qur'an
bukan perkataan Nabi Muhammad SAW, disebabkan terdapat perbedaan yang
tegas dan jelas antara keduanya.
Oleh karena tidak seorang pun dari
bangsa Arab yang bisa menuduh bahwa Al-Qur'an itu perkataan Muhammad
atau mirip dengan gaya pembicaraannya, justru karena paham mereka yang
begitu dalam akan gaya-gaya bahasa mereka sendiri, orang Arab jahiliyah
hanya bisa melontarkan tuduhan bahwa Muhammad SAW menyadur dari
seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan ini ditolak keras oleh
Allah SWT sebagaimana dalam firmanNya : "Dan sesungguhnya Kami
mengetahui bahwa mereka berkata, Sesungguhnya Al-Qur'an itu diajarkan
oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad) Padahal bahasa orang yang
mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa
'ajami (non Arab), sedangkan A!-Qur'an itu dalam bahasa arab yang
jelas" (QS An-Nahl 103)
Apabila kini telah terbukti bahwa Al-Qur'an
itu bukan karangan bangsa Arab, dan bukan pula karangan Muhammad saw,
maka yakinlah bahwa Al-Qur'an itu merupakan perkataan Allah (kalam
Allah) yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya (yaitu Muhammad
SAW).
Karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang membawa Al-Qur'an
yang merupakan perkataan dan syariat Allah, sedang tidak ada yang
membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul, maka berdasarkan
akal dapat diyakini bahwa Mu¬hammad saw itu seorang Nabi dan Rasul.
KESIMPULAN
Iman
kepada Allah, iman kepada Rasulullah SAW dan iman bahwa Al-Qur'an
adalah kalam Allah, mewajibkan beriman kepada apa saja yang dikabarkan
oleh-Nya. Baik hal itu terjangkau indera atau tidak. Jadi kita wajib
beriman kepada Hari kebangkitan, surga, neraka, hisab dan siksa. Juga
wajib beriman akan adanya jin, setan, malaikat serta apa saja yang
diterangkan Al-Qur'an dan Hadits qath'i. Iman seperti ini, walaupun
mengutip (naql) dan mendengar (sama’), tetapi pada dasarnya merupakan
iman yang aqli, sebab dasarnya telah terbukti oleh akal.
Agama Islam
telah memecahkan simpul problematika utama manusia melalui aqidah Islam
yang berisi jalan menuju iman. Di dalam akidah Islam, akal seorang
muslim sampai kepada keyakinan mengenai kehidupan sebelum dunia, yaitu
Allah SWT, kehidupan dunia dan kehidupan setelah dunia yaitu Hari
Akhirat. Demikian juga akal sampai kepada keyakinan tentang penghubung
antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia berupa penghubung
penciptaan dan penghubung berupa aturan-aturanNYA.
Demikian juga akal sampai kepada keyakinan tentang penghubung antara
kehidupan dunia dengan kehidupan setelah dunia, berupa perhitungan amal
manusia atas apa yang Ia kerjakan di dunia (muhasabah). Demikian juga
akal sampai kepada keyakinan bahwa manusia terikat dan wajib berjalan
di dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib
beri'tiqad bahwasannya Ia akan dihisab di Hari Kiamat atas
perbuatan-perbuatan di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah
pemikiran yang jernih ( mustanir ) apa yang ada di balik kehidupan, alam
semesta dan manusia. Serta telah terbentuk pula pemikiran yang jernih
tentang alam sebelum dan alam sesudah manusia. Dan bahwasannya terdapat
'tali penghubung' antara dunia dengan kedua alam terse¬but. Dengan
demikian telah terurailah 'masalah besar' itu dengan aqidah Islamiah.
Allah SWT berfirman : "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul¬Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab vang diturunkan sebelumnya.
Dan siapa
saja yang mengingkari Allah dan Malaikat¬-Nya dan Kitab-Kitab-Nva don
Rasul-Rasul-Nya dan Hari Akhir maka ia telah sesat sejauh-.jauh
kesesatan" (QS An-Nisa 136)
wawallhu'alam bishawab selalu mohon kritik dan saranya........