Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu
dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melakukan suatu larangan.
Sedangkan iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang lebih,
yang tertinggi adalah ucapan “la ilaha illallah” dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan di jalan.
Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai
atau berbobot sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupun
me-ninggalkan (larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan
maksiat berarti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar
atau mendustakan maka ia bisa membatalkan iman.
Sebagaimana Allah menceritakan tentang Fir’aun dengan firmanNya: “Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.”
(QS.An-Nazi’at: 21)
(QS.An-Nazi’at: 21)
Dan terkadang maksiat itu tidak sampai
pada derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi
memperburuk dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar
seperti berzina, mencuri, minum-minuman yang memabukkan atau sejenisnya,
tetapi tanpa meyakini kehalalannya, maka hilang rasa takut, khusyu’ dan
cahaya dalam hatinya; sekalipun pokok pembenaran dan iman tetap ada di
hatinya.
Lalu jika ia bertaubat kepada Allah dan
mela-kukan amal shalih maka kembalilah khasyyah dan cahaya itu ke dalam
hatinya. Apabila ia terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah
kotoran dosa itu di dalam hatinya sampai menutupi serta menguncinya
-na’udzubillah!-. Maka ia tidak lagi mengenal yang baik dan tidak
me-ngingkari kemungkaran.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari
Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam bersabda:
“Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka
terbentuklah titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat, meninggalkan
dan beristighfar maka mengkilaplah hatinya. Dan jika menambah (dosa)
maka bertambahlah (bintik hitamnya) sampai menutupi hatinya. Itulah
‘rain’ yang disebut oleh Allah dalam Al-Quran: ‘Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka.’
(QS.Al-Muthaffifin: 14,
HR. Ahmad, II/297)
(QS.Al-Muthaffifin: 14,
HR. Ahmad, II/297)
Ada sebuah perumpamaan yang
menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu
bahwasanya iman itu
seperti pohon besar yang rindang. Maka akar-akarnya adalah tashdiq
(kepercayaan) dan dengan akar itulah ia hidup, sedangkan
cabang-cabangnya adalah amal perbuatan. Dengan cabang itulah kelestarian
dan hidupnya terjamin. Se-makin bertambah cabangnya maka semakin
bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon
itu.
Lalu jika berkurang terus sampai tidak
tersisa cabang maupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu. Manakala
akar-akar itu tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang
bisa berdaun maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam tanah.
Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya dengan pohon iman, ia selalu
membuat pengurangan dan aib dalam kesempurnaan dan keindahannya, sesuai
dengan besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya kemaksiatan
tersebut. Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar