Sebelum kami jelaskan tentang pengertian Syareat, Tharekat, Hakekat
Makrifat, marilah kita jelaskan kapan datangnya istilah -istilah tersebut
Istilah tersebut sebenarnya jaman Rasulullah tidak ada, istilah tsb muncul
ke generasi yang ke tiga dari Rasulullah saw, yaitu setelah Rasulullah saw,
Shahabat Nabi, Tabi'in, Ita bi;'in, setelah kegenerasi ketiga itulah muncul
nya para Tasawuf pada Abad ke 11( 5 H ) Tasawuf dipakai setiap calon
Sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berada dalam kehadirat
nya tanpa dibatasi hijab.Bagaimana menurut syareat Islam ? Ahlus sunah
Waljama'ah? Suatu cara mendekat diri kepada Allah dengan istilah di
atas dipersilahkan yang terpenting sesuai dengan sumber hukum dalam
Islam ( Al-Qur'an, Hadist) dan Syareat yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Jadi para tasawuf, itu menyatukan lahir dan batin dalam mengamalkan
syareat itu bersungguh secara istiqomah dalam mendekatkan diri kepada
kepada Allah swt.
Pengertian Syareat
yaitu segala aturan yang sudah ditentukan oleh Allah swt, atau aturan
yang sudah dilegalisasi oleh Rasulullah saw yang berkenaan dalam soal
Aqidah, masalah hukum baik haram halal, syarat atau rukun dsb yang
mengatur hubungan manusia dengan penciptaNya atau Sesama Manusia.
Dalam Syareat aturan udah baku tidak dapat dirubah, tidak seperti ilmu
fikih dapat dirubah.
Dalam ilmu Tasawuf syareat adalah yang mengatur amal ibadat dan
muamalat secara lahir.
Dalam tingakat ini, membahas soal amalan hati atau batiniah atau rohani
yah disebut Tasawuf dan ilmu bagi amalan lahir, dalam tingkat ini
Syareat itu di ibaratkan suatu benih biji yang akan kita tanam.
Pengertian Tharekat
Secara harfiah berarti jalan, metoda, cara, dalam lapangan tasawuf istilah
ini dipakai calon sufi adalah jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri
kepada Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam yang
mahmudah, jadi dalam tingkatan ini ada maqam yang harus dikerjakan
secara istiqamah yaitu maqam taubat, zuhud, sabar, ridlo dsb.
Dalam tingkat ini adalah menghidupkan Syareat sebagai amalan lahir
atau amalan batin secara sungguh-sungguh dan istiqamah dalam rangka
mengnguatkan keimanan dalam hati.
Pada tingkat tharikat ini di ibaratkan menanam benih biji (Syareat )
tumbuh menjadi kecambah atau sebatang pokok yang bercabang dan berdaun.
Pengertian Hakikat
Yang bearti kebenaran atau benar-benar ada, orang -orang sufi menjadikan
Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang
lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya.Hakekat ini akan di
akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat yang sebenar-benarnya
dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah artinya
sinyal kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita yang
memiliki indra ke 6.
Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syareat ) pada tingkatan
tharikat menjadi batang yang becabang ,berdaun jika pada tingkatan ini
kita amalkan buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan nafsu, sabar, tawaduk
kita akan memperoleh buah (maqam mahmudah) jadi dengan Allah tiada
hijab atau tabir atau penghalang lagi.
Makrifat
sumber; belajarilmutasawuf.blogspot.com
Makrifat, marilah kita jelaskan kapan datangnya istilah -istilah tersebut
Istilah tersebut sebenarnya jaman Rasulullah tidak ada, istilah tsb muncul
ke generasi yang ke tiga dari Rasulullah saw, yaitu setelah Rasulullah saw,
Shahabat Nabi, Tabi'in, Ita bi;'in, setelah kegenerasi ketiga itulah muncul
nya para Tasawuf pada Abad ke 11( 5 H ) Tasawuf dipakai setiap calon
Sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berada dalam kehadirat
nya tanpa dibatasi hijab.Bagaimana menurut syareat Islam ? Ahlus sunah
Waljama'ah? Suatu cara mendekat diri kepada Allah dengan istilah di
atas dipersilahkan yang terpenting sesuai dengan sumber hukum dalam
Islam ( Al-Qur'an, Hadist) dan Syareat yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Jadi para tasawuf, itu menyatukan lahir dan batin dalam mengamalkan
syareat itu bersungguh secara istiqomah dalam mendekatkan diri kepada
kepada Allah swt.
Pengertian Syareat
yaitu segala aturan yang sudah ditentukan oleh Allah swt, atau aturan
yang sudah dilegalisasi oleh Rasulullah saw yang berkenaan dalam soal
Aqidah, masalah hukum baik haram halal, syarat atau rukun dsb yang
mengatur hubungan manusia dengan penciptaNya atau Sesama Manusia.
Dalam Syareat aturan udah baku tidak dapat dirubah, tidak seperti ilmu
fikih dapat dirubah.
Dalam ilmu Tasawuf syareat adalah yang mengatur amal ibadat dan
muamalat secara lahir.
Dalam tingakat ini, membahas soal amalan hati atau batiniah atau rohani
yah disebut Tasawuf dan ilmu bagi amalan lahir, dalam tingkat ini
Syareat itu di ibaratkan suatu benih biji yang akan kita tanam.
Pengertian Tharekat
Secara harfiah berarti jalan, metoda, cara, dalam lapangan tasawuf istilah
ini dipakai calon sufi adalah jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri
kepada Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam yang
mahmudah, jadi dalam tingkatan ini ada maqam yang harus dikerjakan
secara istiqamah yaitu maqam taubat, zuhud, sabar, ridlo dsb.
Dalam tingkat ini adalah menghidupkan Syareat sebagai amalan lahir
atau amalan batin secara sungguh-sungguh dan istiqamah dalam rangka
mengnguatkan keimanan dalam hati.
Pada tingkat tharikat ini di ibaratkan menanam benih biji (Syareat )
tumbuh menjadi kecambah atau sebatang pokok yang bercabang dan berdaun.
Pengertian Hakikat
Yang bearti kebenaran atau benar-benar ada, orang -orang sufi menjadikan
Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang
lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya.Hakekat ini akan di
akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat yang sebenar-benarnya
dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah artinya
sinyal kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita yang
memiliki indra ke 6.
Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syareat ) pada tingkatan
tharikat menjadi batang yang becabang ,berdaun jika pada tingkatan ini
kita amalkan buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan nafsu, sabar, tawaduk
kita akan memperoleh buah (maqam mahmudah) jadi dengan Allah tiada
hijab atau tabir atau penghalang lagi.
Makrifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan
ilmu sendiri.
ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat,
ma‘rifat itu ilmu, setiap orang
alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati
menyadari bahwa segala
sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa,
menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh
SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa,
menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh
SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut
al-Gazali, tidak
didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat
kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik.
Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak
terjangkau oleh akal (rasio).
didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat
kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik.
Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak
terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran
indera dan rasio
dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat
ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada
kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap
hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada
banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat
ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada
kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap
hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada
banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang
hakiki, yang dibangun
di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman
inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang
mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy.
Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk
aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani
dan ruhani.
di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman
inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang
mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy.
Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk
aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani
dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا
يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan”
yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah
pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang
diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah
pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang
diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi
obyek
pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya;
dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya;
dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang
meliputi segala yang ada”.
meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam
ajaran tasawuf
al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup
pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih
jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif)
mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang
tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti
karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar
dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang
tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa
obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala
realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak
membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan,
yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali
mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup
pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih
jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif)
mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang
tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti
karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar
dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang
tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa
obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala
realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak
membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan,
yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali
mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang
terhadap Allah, ia tidak
akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas
(finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).
akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas
(finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat
dicapai lewat
indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui
pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan
kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau
merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam
pengalaman sufistik langsung.
indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui
pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan
kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau
merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam
pengalaman sufistik langsung.
Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa
dikomunikasikan kepada
orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang
mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara
seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan
salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling
seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena
tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak
mengandung penafsiran ganda.
orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang
mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara
seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan
salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling
seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena
tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak
mengandung penafsiran ganda.
Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli
terhadap hukum-hukum
syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah
memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa
pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy.
Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah yang sangat
menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam),
terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa
ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul,
maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf
terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir,
maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah
memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa
pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy.
Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah yang sangat
menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam),
terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa
ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul,
maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf
terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir,
maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain
adalah cara
memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras;
merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan
manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia
hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala
dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.
memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras;
merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan
manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia
hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala
dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.
Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta
Allah Ta'ala.
Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S.
dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?",
Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam
musyahadah (menyaksikan) kepadaku.
Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S.
dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?",
Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam
musyahadah (menyaksikan) kepadaku.
Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr
al-qalb.
Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat
yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka
sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi,
Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat
yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka
sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi,
Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya
telah tidak dijumpai
tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian
para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat)
al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37)
Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan
oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian
para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat)
al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37)
Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan
oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah
engkau menyembah
seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab,
"Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi
dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau
melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat".
Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah
sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata
tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan
hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan
manusia. (38)
seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab,
"Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi
dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau
melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat".
Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah
sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata
tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan
hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan
manusia. (38)
Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam
ma'rifat
adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar,
dan kalam Allah dari penyerupaan.
adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar,
dan kalam Allah dari penyerupaan.
Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga
sumber
ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam
yang lain.
ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam
yang lain.
b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu
sumber
ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia
bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal
sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai
utama.
ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia
bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal
sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai
utama.
c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi
Ma'rifat. Wilayah
cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama
bagi ajaran Islam.
cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama
bagi ajaran Islam.
d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang
dihunjamkan
ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan
'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.
ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan
'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan
tingkatan iman
seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan
iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan
iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid
yang murni.
yang murni.
b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang
yang mengaku
ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan
'ainul yaqin. (41)
'ainul yaqin. (41)
Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam
al-Hikam menulis:
al-Hikam menulis:
“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan
hiraukan amalmu
yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri
yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui
bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang
anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi
pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan
Allah atas anda ?”
yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri
yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui
bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang
anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi
pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan
Allah atas anda ?”
Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia
Ruhani
bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang
datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani
yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada
amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri.
Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi
membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.
bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang
datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani
yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada
amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri.
Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi
membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.
Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata
hatinya akan
melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha
Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika
Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha
Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika
Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah.
Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia
memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia
memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada
gerbang
makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu
berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa
tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak
lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain.
Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT.
makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu
berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa
tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak
lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain.
Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT.
Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika
pintu
itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya
kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia
Allah
sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu
gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.
sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu
gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.
Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari
perasaan ragu,
lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah
Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah
Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam
arti umum
ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf
“Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat
Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.
ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf
“Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat
Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi
seperti itu (Ma’rifat)
diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari
manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.
diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari
manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa
Ma’rifat
merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya
Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya
Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya,
dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan.
Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan
kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat
merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri
manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk
materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan
serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya
keindahannya yang gilang gemilang.
merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya
Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya
Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya,
dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan.
Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan
kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat
merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri
manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk
materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan
serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya
keindahannya yang gilang gemilang.
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah
ZUNNUN
al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya
“Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu
tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar
itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai
pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan
permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan
kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada
waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air
mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil
sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya
“Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu
tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar
itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai
pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan
permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan
kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada
waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air
mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil
sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku
yang
aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh
melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan
Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah
tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari.
Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan
sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong
roti yang masih utuh.
aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh
melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan
Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah
tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari.
Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan
sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong
roti yang masih utuh.
Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3
macam;
yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki
oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki
oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,
sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus
meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara
menempuh tahapan
Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan
tiak pula mengalami kesesatan.
Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan
tiak pula mengalami kesesatan.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li
Mazahib Ahl at
Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai
pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh
jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal,
Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati
sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana
Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi
lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak
karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini
sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai
pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh
jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal,
Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati
sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana
Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi
lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak
karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini
sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata
hasil
usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan
Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran
akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian
Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan
Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran
akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian
Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam
menjelaskan
bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan
berdasarkan logika dan penalaran akal.
berdasarkan logika dan penalaran akal.
Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi,
sedangkan Ma’rifat
pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan
antara ilmu dan Ma’rifat.
pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan
antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah
Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan
Zahirnya.
Zahirnya.
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan
melanggar aturan Tuhan.
melanggar aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik
dan lemah
lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan
sifat-sifat Tuhan.
lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan
sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun
selintas dapat
dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh
mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir
dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada
akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang
Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke
maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat
dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun
di satu maqam.
dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh
mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir
dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada
akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang
Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke
maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat
dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun
di satu maqam.
Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang
terus-menerus. Semakin
banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang
rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna,
karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu
al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan
manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.
banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang
rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna,
karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu
al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan
manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini
mendapat pengakuan
Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan
Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at.
Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami
(W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang
dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal
dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”
Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan
Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at.
Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami
(W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang
dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal
dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”
Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri
yakni maqam
yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas
berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu
adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan
diri dengan api”.
yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas
berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu
adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan
diri dengan api”.
Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi
keraguan di dalamnya.
Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang
apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada
lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat
Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan
apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu”
Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.
Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang
apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada
lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat
Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan
apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu”
Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.
Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt.
Mahahidup,
Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh
Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh
Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah
tauhid. Yaitu, jika anda
telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan
Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa
tiada satu pun yang menyamai-Nya].
telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan
Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa
tiada satu pun yang menyamai-Nya].
Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu
bersama Allah
swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah
ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam
musyahadah kepada-Ku. “
swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah
ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam
musyahadah kepada-Ku. “
Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma
`rifat
yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat
(melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena
ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt.
menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan
nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai
pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar
yang melihat-Nya tidak terbakar.
yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat
(melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena
ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt.
menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan
nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai
pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar
yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna
Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut
(khauf)
dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan)
dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi
Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan
lahirnya penegasan keesaan (tauhid).
dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan)
dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi
Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan
lahirnya penegasan keesaan (tauhid).
Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang
mencari dunia,
selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya
Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai
cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai
cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun
ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya
Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai
cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai
cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun
ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang
dikaruniakan di
dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”
dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”
Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan
bercahaya
dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan
menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami
peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak
demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan
menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami
peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak
demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.
Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas
rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan
lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan
lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.
Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui
bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai
tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai
tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah
musyahadah
kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan
(syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya,
“Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda
lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah
Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan
(syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya,
“Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda
lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah
Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi,
“Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
“Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi
mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui
melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”
mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui
melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”
Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata,
“Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan
kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan
(`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain
Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya,
dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur,
Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”
“Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan
kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan
(`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain
Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya,
dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur,
Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang
sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan
pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama
dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan
ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar
pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak
tampak dapat dikenali.
sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan
pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama
dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan
ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar
pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak
tampak dapat dikenali.
Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah
swt. berfirman:
“Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).
“Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).
Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu,
apabila telah
bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi
masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut
dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang
didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi
seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana
dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan,
`Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”
bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi
masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut
dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang
didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi
seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana
dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan,
`Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”
Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab
dan
upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih
dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.
upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih
dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.
Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt.,
antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik
(sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir,
kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena
ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat
atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus
antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik
(sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir,
kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena
ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat
atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu
ia
menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah
Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala
kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah
Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala
kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang
sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang
tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih
karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua:
Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah
ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan
Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat,
tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya
Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan
mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang
tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih
karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua:
Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah
ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan
Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat,
tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya
Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan
mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.
” (Q.s. Thaha: 110).
” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni
ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan
mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan
oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup
dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika
bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang
sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan
mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan
oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup
dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika
bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang
sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup
mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia
sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin
dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:
mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia
sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin
dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa
yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
yang
pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya
kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya
kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat
al-Haq?”
al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti
fenomena
alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya
berada
dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan
Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta
(al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan
Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta
(al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya
tentang
sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh
warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam
tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih.
Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan
menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam
tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai
kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah
Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh
warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam
tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih.
Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan
menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam
tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai
kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah
Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, –
hanya Allah
Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat
dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang
ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu.
Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam,
padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan
aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa
jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati
nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat
dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang
ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu.
Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam,
padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan
aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa
jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati
nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas
orang-orang arif
(al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat
yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
(al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat
yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia
menjawab, “Adalah
kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya,
karena ia telah menauhidkan-Nya.”
kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya,
karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain
dari panggilan
al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya
pada mereka.”
pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata,
“Akan
tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab
tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya
mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat
Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab
tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya
mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat
Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua
kebaikan
bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi
jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi
jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif,
maka ia menjawab,
“Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
“Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia
menjawab,
“Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan
mereka.”
“Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan
mereka.”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak
bisa dipahami
dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat
Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa
memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali,
atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat
Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa
menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu
sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang
terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak
mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui
mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa
memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali,
atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat
Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa
menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu
sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang
terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak
mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui
mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah
al-Abadiyyah
(Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana
Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal.
Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan
suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan
melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui
penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab
penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara
mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak
ada kerendahan.”
(Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana
Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal.
Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan
suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan
melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui
penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab
penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara
mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak
ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri,
“mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan
kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
“mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan
kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya:
Makna
dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa
menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka
Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan.
Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu
yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi
makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan
senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari
Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa
menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka
Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan.
Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu
yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi
makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan
senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari
Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan
tentang
ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan
tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap
jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya
(tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap
baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan).
Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana
keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka
yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak
bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak
jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya.
Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek,
pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal
(yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan
tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap
jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya
(tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap
baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan).
Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana
keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka
yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak
bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak
jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya.
Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek,
pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal
(yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’
maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman
Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata,
“Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya
senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum,
kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan
(amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum,
kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan
orang-orang yang dibenci-Nya.”
maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman
Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata,
“Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya
senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum,
kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan
(amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum,
kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan
orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap
jelek
itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya
adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang
menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan
menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya
adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang
menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan
menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada
dua
buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di
tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para
penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak
mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap
dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.”
(H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih
Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di
tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para
penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak
mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap
dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.”
(H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih
Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada
kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka
(kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan
kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang
menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada
mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka
(kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan
kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang
menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada
mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini.
Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang
menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui,
melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak
menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain
Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang
menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui,
melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak
menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain
Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
Terima kasih telah berkunjung di belajarilmutasawuf.blogspot.com semoga barokah, amin....salam silaturrahim.
BalasHapusya, insyaAllah, amin
Hapusini sebenarnya bagus kajiannya, tpi kenapa kasih musik segala? gak smw orng bsa konsen baca jika dengan musik
BalasHapusapa lagi musiknya berisik gitu
HapusThank you..... atas saran serta kritiknya
BalasHapus