Kamis, 04 April 2013

Sumber Hukum Dalam Islam





1.Al-Qur'an

Alquran sebagai kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga
 akhir zaman. Selain sebagai sumber ajaran Islam.
Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian
 kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari waktu ke waktu telah berkembang  tafsiran tentang isi2 Al-Qurannamun tidak ada yang saling bertentangan.

2.Al-Hadist

Hadist  terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, diantaranya adalah:
       1.Shohih  2. Hasan 3.Dhaif ( lemah )  4. Maudu' ( palsau  )
Hadits yang dijadikan acuan hanya hadits dengan derajat shoheh dan hasan, kemudian hadits dhoif dan maudu wajib ditinggalkan oleh umat Muslim.
Perbedaan al-qur'an dan al-Hadist
     1.Adalah al-qur'an, merupakan kitab suci yang berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi satu bundel, untuk seluruh umat manusia.
     2. Al-hadist, merupakan kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Qur'an berisikan aturan pelaksanaan, tata cara akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Walaupun ada beberapa pertentangan di dalamnya tapi merupakan kebenaran yang hanya orang orang yang diberikan izin oleh Allah untuk bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.

3.Ijtihad

Adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam, berdasarkan al Qur'an dan al Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum. Namun, ada hal-hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :

       1. Ijma'  , Kesepakatan para ulama
       2. Qiyas, diumpamakan  sesuatu hal yang mirip dan
            hukumnya sdh jelas
       3. Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
       4. URF, kebiasaan

 Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain.
 Oleh sebab itu,  jika terdapat suatu perkara yang Allah dan rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu.

 Pemahaman makna ini didukung oleh ayat al Qur'an dalam Surat Al Maidah yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu

     1. Asas Syara'
     2. Furu' Syara'.
  ASAS SYARA' Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al Qur'an atau al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana al Qur'an itu asas pertama Syara` dan al Hadits itu asas kedua syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
  FURU' SYARA' Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Maidah 2.5;101 )

 Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf (Mardias Gufron, 2009) mengatakan bahwa “kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”.  Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ذَالِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًىلِّلْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab (Mardias Gufron, 2009) menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia”.
B. Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti “sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar kesanggupannya” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur’an, 1990).
Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan kepada para nabi dan rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuai dengan firman-Nya yang berbunyi,
إَنَّانَحْنُ نَزَّلْنَا الذّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظِوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
  1. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
  2. Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.

C. Dasar-Dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan dasar hukum yang disampaikan kepada ummat manusia agar mereka mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pedoman Al-Qur’an dalam mengadakan perintah dan larangan-Nya adalah tidak memberatkan dan diturunkan secara berangsur-angsur.

Al-Qur’an Tidak Memberatkan
Al-qur’an diturunkan tidak untuk memberatkan ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:
يُرِيْدُاللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu” (Q.S. Al-Baqarah, 2:185).
Al-Qur’an Turun Secara Berangsur-Angsur
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain:
  1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan.
  2. Turunnya Al-Qur’an berdasarkan suatu kejadian tertentu akan lebih mengesankan dan berpengaruh di hati.
  3. Memudahkan dalam menghafal dan memahaminya.
D. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ijtihad yang Pertama
Ijihad adalah “sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits” (Lina Dahlan, 2006). Terdapat beberapa macam ijtihad, di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. ‘Ijma: Kesepakatan ulama,
  2. Qiyas: diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya,
  3. Maslahah Mursalah: untuk kemaslahatan ummat,
  4. ‘Urf: kebiasaan.

Para fuqaha dari berbagai madzhab-madzhab Islam telah mengungkapkan berbagai  pandangan mereka yang berbeda-beda mengenai sumber-sumber Ijtihad.
Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum-hukum Ilahi. Al-Qur’an lebih diutamakan daripada sumber-sumber lain yang dirujuk guna mendapatkan berbagai hukum (ahkam) syari’ah. Al-Qur’an telah dan akan tetap – selain merupakan sumber konfrehensif hukum-hukum Ilahi – juga menjadi kriteria untuk menilai berbagai hadits. Atas dasar inilah, sejak zaman nabi Muhammad SAW hingga saat ini dan untuk selamanya, Al-Qur’an telah menjadi sumber rujukan utama bagi para fuqaha Islam.


 .1.1.      Al-Hadits  
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an. Hadits nabi adalah catatan segala tindak tanduk nabi yang tertuang dalam ucapan, sikap dan diamnya nabi. 
Klasifikasi Hadits 
2.1.1.1.      Berdasarkan Ujung Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah:Al-Bukhari > Musaddad > Yahyaa > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAWSebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat)
Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
·         Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
·         Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).
2.1.1.2.      Berdasarkan Keutuhan Rantai / Lapisan Sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
·         Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
·         Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
·         Hadits Munqati’, bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
·         Hadits Mu'dal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
·         Hadits Mu'allaq, bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
2.1.1.3.      Berdasarkan Jumlah Penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
·         Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
·         Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
o    Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
o    Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
o    Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
2.1.1.4.      Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
·         Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Sanadnya bersambung;
2.      Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3.      Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
·         Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
·         Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
·         Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
2.1.1.5.      Hadits Jenis-Jenis Lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
·         Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
·         Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
·         Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
·         Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
·         Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
·         Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
·         Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
·         Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
·         Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahanya tolong kritik dan saran amal ikhlas anda untuk para santri Kami yang sedang menuntut ilmu, wawllhu'alam bisshawab.






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar