Rabu, 03 April 2013

Hukum Da'wah, Menuntut Ilmu, Mencari Nafkah

Hukum berdawah dalam islam
Metode  dakwah adalah hukum-hukum syara’, yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS. Al Ahzab : 21)

“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31)

“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Dan banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti perjalanan dakwah Rasulullah saw, menjadikan beliau suri teladan, dan mengambil ketentuan hukum dari beliau.
Berhubung kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur—karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah Swt— maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah saw diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebagai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan meneladani Rasulullah saw.
Dengan mendalami sirah Rasulullah saw di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang sangat jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan nyata tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah saw, metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasululah saw dalam seluruh tahapan perjalanan dakwahnya.
Berdasarkan sirah Rasulullah saw tersebut,  menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan berikut :

Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran.

Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.

Ketiga, Tahapan Penerimaan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

 Hukum Menuntut Ilmu
. Allah  berfirman:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang memberikan keterangan yang sangat jelas. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Maidah:15-16 ) Dengan menuntut ilmulah, seseorang akan mengenal Rabb-nya dan akan kokoh di atas agama yang mulia. Dengan menuntut ilmu, seseorang akan mengetahui bahwa Dialah Allah l satu-satunya sesembahan yang benar, sedangkan selain-Nya adalah sesembahan yang batil. Dengan demikian, Allah  akan selamatkan seseorang dengan sebab menuntut ilmu dari kegelapan syirik dan kemaksiatan serta kesesatan bid’ah dan kerancuan pemikiran. Begitu pula, Allah l akan menyelamatkannya dari kegelapan dan kesulitan serta dijauhkan dari siksa-Nya di hari kebangkitan.
Menuntut ilmu adalah jalan untuk mendapatkan keridhaan Allah dan jalan mnuju surga j-Nya yang penuh dengan kenikmatan. Nabi n bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu maka akan dimudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa jalan yang pertama kali harus ditempuh untuk mencapai jannah (surga) tidak lain adalah dengan cara menuntut ilmu.   Allah  berfirman:
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amalannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (Al-Kahfi: 103-104)

Dengan demikian kita mengetahui bahwa kegiatan dan kesibukan seseorang dalam menuntut ilmu memiliki keutamaan yang sangat besar, dan orang yang melakukannya pada dasarnya sedang dalam perjalanan menuju jannah (surga). Oleh karena itu, para pendahulu kita dari kalangan salafush shalih adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Lihatlah bagaimana salah seorang sahabat, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari z, yang hanya karena ingin mendapatkan satu hadits, beliau harus melakukan perjalanan dari kota Madinah menuju Mesir untuk menemui sahabat lainnya yang meriwayatkan hadits dari Nabi n yang dia belum memilikinya.  Mereka siap melakukan perjalanan yang jauh untuk mendapatkan hadits Nabi n. Bahkan mereka pun tidak merasa direndahkan meskipun harus mengambilnya dari orang yang ilmu dan keutamaannya di bawah mereka.
Sesungguhnya cukup bagi seseorang untuk mengambil pelajaran yang menunjukkan betapa pentingnya menuntut ilmu dari kisah Nabiyullah Musa . Yaitu ketika beliau harus menempuh perjalanan yang jauh untuk menemui Nabiyullah Khidhir  yang diberitakan oleh Allah. Allah  berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60)
Allah  kemudian menyebutkan ucapan Nabi Musa  ketika telah bertemu dengannya di dalam firman-Nya:
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (Al-Kahfi: 66)
  Maka cukuplah kisah tersebut memberikan pelajaran bagi kita untuk bersemangat dalam menuntut ilmu karena sangat pentingnya dan sangat besar kebutuhan kita akan ilmu. Kalaulah ada seseorang yang dibolehkan merasa cukup dari ilmu sehingga tidak perlu untuk mencarinya apalagi harus dengan menempuh perjalanan jauh, maka Nabi Musa q tentu yang paling pantas untuk merasa cukup. Karena beliau adalah orang yang telah dikaruniai ilmu yang banyak oleh Allah . Namun demikian, beliau tidak merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya. Hal ini menunjukkan betapa tinggi dan besarnya nilai sebuah ilmu.
  Ketahuilah, bahwasanya disamping bersemangat, seseorang juga harus berhati-hati dalam menuntut ilmu. Karena ilmu itu tidaklah diambil kecuali dari ahlinya. Sehingga dikatakan oleh sebagian para ulama kita:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Maka sudah semestinya bagi kaum muslimin untuk mempelajari agamanya dari para ulama. Karena mereka adalah orang-orang yang menempati kedudukan para nabi dalam menyampaikan agama. Maka sungguh merupakan suatu anggapan yang salah ketika seseorang merasa mampu untuk memahami agama ini tanpa bimbingan para ulama, dan merasa cukup dengan mempelajari sendiri dari kitab-kitab yang dimilikinya. Begitu pula merupakan suatu kesalahan yang besar ketika seseorang menganggap yang penting kembali kepada Al-Qur’an dan hadits (As-Sunnah) dengan mengambilnya sendiri dan tidak mengambilnya melalui para ulama.
Sungguh telah muncul orang-orang yang meremehkan kedudukan para ulama sehingga mengambil kesimpulan serta menetapkan hukum sendiri dari apa yang dia baca dari Al-Qur’an dan hadits. Padahal cara membacanya saja masih banyak yang salah, apalagi memahami kandungannya serta mengambil hukum dari apa yang dia baca. Maka yang demikian ini sungguh sangat berbahaya. Karena untuk melakukan itu dibutuhkan perangkat ilmu yang begitu banyak, dan hanya para ulama yang benar-benar kokoh ilmunya yang bisa melakukannya. Oleh karena itu, marilah kita berupaya sekuat kemampuan kita untuk senantiasa berhati-hati dan mengembalikan urusan agama kita kepada ahlinya.

  Bahwa ilmu yang diperintahkan kita untuk mencarinya adalah ilmu syar’i. Begitu pula orang-orang yang dipuji karena memiliki ilmu dan yang disebut sebagai ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu syar’i. Yaitu ilmu tentang syariat atau agama Allah l yang dibawa oleh utusan-Nya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Abud Darda z, bahwa Nabi n bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar, tidak pula mewariskan dirham. Akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mendapatkannya maka dia telah mendapatkan bagian yang sangat mencukupi.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Adapun ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi, kedokteran, dan yang lainnya, meskipun hal itu memiliki manfaat, namun bukanlah ilmu yang disebutkan pujiannya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tanda yang menunjukkan bahwa seseorang diinginkan untuk mendapatkan kebaikan dari Allah  dengan mendapatkan kenikmatan surga-Nya adalah pahamnya dia terhadap agama Allah l. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ يُرِِِِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah inginkan terhadapnya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia terhadap agamanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sehingga ketidakpahaman seseorang terhadap agamanya menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang dikehendaki oleh Allah  untuk mendapatkan kebaikan, meskipun dia ahli dalam masalah ekonomi, kesehatan, serta ilmu pengetahuan yang lainnya. Bahkan apabila ilmu pengetahuannya tentang dunia tersebut memalingkan dirinya dari mempelajari agama Allah l sehingga tidak menerima ajaran yang ada di dalamnya, maka dirinya telah tertular sifat orang kafir yang disebutkan dalam firman Allah l “Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka lebih membanggakan pengetahuan yang ada pada mereka. Maka mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Al-Mu’min: 83)

 Hukum Mencari Nafkah
 Untuk memenuhi kebutuhannya, seorang muslim wajib berusaha dgn mencari nafkah nan halal. Dengan nafkah itu, ia dapat menghidupi dirinya & keluarganya. Dengan nafkah itu, ia juga dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Seorang muslim tak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Karena hidup dgn bergantung kepada orang lain merupakan kehinaan. Dan hidup dari usaha orang lain adalah tercela. Malaikat Jibril datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata: “… Ketahuilah, bahwa kemuliaan orang mukmin shalat nya di waktu malam & kehormatannya adalah dgn tak mengharapkan sesuatu kepada orang. ” [Hadits hasan. Lihat Shahih Jami'ush Shagir, no. 73 & 3710]
Allah & RasulNya menganjurkan umat Islam utk berusaha & bekerja. Apapun jenis pekerjaan itu selama halal, maka tidaklah tercela. Para nabi & rasul juga bekerja & berusaha utk menghidupi diri & keluarganya. Demikian ini merupakan kemuliaan, karena makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat & nikmat, sedangkan makan dari hasil jerih payah orang lain merupakan kehidupan nan hina. Karena itu, Islam menganjurkan kita ini utk berusaha, & tak boleh mengharap kepada manusia. Pengharapan hanya wajib ditujukan kepada Allah saja. Allah-lah nan memberikan rezeki kepada seluruh makhluk. Kalau kita ini sudah berusaha semaksimal mungkin, Insya Allah, rezeki itu akan Allah berikan sebagaimana burung, nan pagi hari keluar dari sarangnya dlm keadaan lapar, kemudian pada sore hari pulang dlm keadaan kenyang. Terlebih manusia, nan telah mendapatkan dari Allah berupa akal, hati, panca indra, keahlian & lainnya serta berbagai kemudahan, maka pasti Allah akan memberikan rezeki kepadanya.
1-عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ, تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا.
Dari Umar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dgn sebenar-benar tawakkal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dlm keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dlm keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164].
Di bawah ini, penulis bawakan beberapa ayat & hadits-hadits nan menganjurkan seorang muslim makan dari hasil usaha sendiri & menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain.
Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Maka apabila shalat telah selesai dikerjakan, bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi & carilah rezeki karunia Allah”. [Al Jumu'ah: 10]
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dia-lah nan menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya & makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [Al Mulk: 15]
Tentang ayat ini, dlm kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Kemudian, Dia menyebutkan nikmat nan telah Dia anugerahkan kepada makhlukNya dgn menyediakan bumi bagi mereka & membentangkannya utk mereka. Dia membuatnya sebagai tempat menetap nan tenang, tak miring & tak juga bergoyang, karena Dia telah menciptakan gunung-gunung padanya. Dan Dia alirkan air di dalamnya dari mata air. Dia bentangkan jalan-jalan, serta menyediakan pula di dalamnya berbagai manfaat, tempat bercocok tanam & buah-buahan. Dia berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
“(Dia-lah nan menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya)”. Maksudnya, lakukanlah perjalanan ke mana saja nan kalian kehendaki dari seluruh belahannya, serta bertebaranlah kalian ke segala penjurunya utk menjalankan berbagai macam usaha & perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tak akan macam usaha & perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tak akan bermanfaat bagi kalian sama sekali, kecuali jika Allah memudahkan utk kalian. Oleh karena itu, Dia berfirman
وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ

(Makanlah sebagian dari rezekiNya). Dengan demikian, usaha nan merupakan sarana, sama sekali tak bertentangan dgn tawakal.
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
(Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan). Maksudnya ialah, tempat kembali pada hari Kiamat kelak. [Tafsir Ibnu Katsir, IV/420, Cet. Darus Salam].
2-وَعَنْ اَبِى عَبْدِاللهِ الزُّبَيْرِبنِ العَوَّامِ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ:لأَنْ يَأْخُذَ اََحَدُكُمْ اَحْبُلَهُ ثُمَّ يَاْتِى الْجَبَلَ فَيَاْتِىَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِخِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ اَعْطَوْهُ اَوْ مَنَعُوْهُ.
Dari Abi Abdillah (Zubair) bin Awwam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya & pergi ke bukit utk mencari kayu bakar nan diletakkan di punggungnya utk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1471].
Penjelasan:
1). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi hajat hidupnya dgn jalan apapun menurut kemampuan, asal jalan nan ditempuh itu halal.
2). Berusaha dgn bekerja kasar, seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat daripada meminta-minta & menggantungkan diri kepada orang lain.
3). Begitulah didikan & arahan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam utk menjadikan umatnya sebagai insan-insan terhormat & terpandang, & bukan umat nan lemah lagi pemalas.
4). Tidak halal meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.
5). Meminta-minta atau mengemis dlm Islam merupakan perbuatan nan hina & tercela.
6). Usaha dgn jalan nan benar tak menafikan tawakkal kepada Allah.
7). Seseorang tak boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dlm pandangan manusia dinilai hina.
3-وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ:لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar nan dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 & Nasa-i, V/96]
َ4- عَنْ اَبِى هُرَيْرَة َو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدَِْهِ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Adalah Nabi Daud tak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2073].
Penjelasan:
1. Nabi Daud Alaihissalam, disamping sebagai nabi & rasul, dia juga seorang Khalifah. Namun demikian, sebagaimana diceritakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dlm hadits Beliau, bahwa apa nan dimakan Nabi Daud adalah dari hasil jerih payahnya sendiri dgn bekerja nan menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh uang utk keperluan hidupnya sehari-hari. Di antaranya sebagaimana dikisahkan dlm Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi Daud, sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلاً يَاجِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung & burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, & Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi nan besar-besar & ukurlah anyamannya; & kerjakanlah amalan nan shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa nan kamu kerjakan”. [Saba`: 10-11].
Alah Ta'ala mengabarkan tentang kenikmatan nan diberikanNya kepada hamba & RasulNya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu”. [HR Muslim, no. 2379; Ahmad II/296, 405, 485].
6-َ عَنِ المِقْدَامِ بنِ مَعْدِيكَرِبَِ عَنْ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ:مَا اَكَلَ اَحَدٌطَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِْهِ, وَاِنَّ نَبِيَّّ اللهِ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِْهِ.
Dari Miqdam bin Ma'dikariba Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam, ia berkata: “Tidaklah seseorang makan makanan nan lebih baik daripada hasil usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2072]
Pelajaran dari hadits:
1). Bekerja atau berusaha jenis apapun asal jalan nan ditempuh halal, adalah baik & terhormat.
2). Hidup dgn menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela.
3). Malas merupakan sifat nan tercela.
4). Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat & nikmat.
5). Para nabi & rasul, mereka semua tak meminta upah dari manusia, sebagaimana Allah sebutkan dlm ayat-ayat Al Qur`an.
Allah berfirman:
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ {86} إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, & bukanlah aku termasuk orang-orang nan mengada-adakan. Al Qur`an ini tak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur`an setelah beberapa waktu lagi”. [QS Shad: 86-88]
Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman: Katakanlah hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu “Aku tak meminta upah kepada kalian (yang kalian berikan) berupa harta benda dunia atas penyampaian risalah & nasihat ini”.
وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

(Dan bukanlah aku termasuk orang-orang nan mengada-adakan). Artinya, aku tak menghendaki & menginginkan kelebihan atas risalah nan disampaikan oleh Allah Ta'ala kepadaku, bahkan aku tunaikan apa nan diperintahkanNya kepadaku, aku tak menambah & mengurangi, aku hanya mengharap wajah Allah l & negeri akhirat.
Sufyan Ats Tsauri berkata dari Al A'masy & Manshur, dari Abudh Dhuha, bahwa Masruq bekata: Kami mendatangi Abdullah bin Mas'ud z . Lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tak mengetahuinya, maka katakanlah Allahu a'lam (Allah lebih mengetahui). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari sebuah ilmu, bahwa seseorang mengatakan ‘Allahu a'lam (Allah lebih mengetahui)' apa nan diketahuinya”. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada nabi kalian
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

(Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, & bukanlah aku termasuk orang-orang nan mengada-adakan)”. [HR Al Bukhari, no. 4809, Tafsir Ibnu Katsir IV/ 47].
Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
7- مَنْ أَخَذَ عَلىَ تَعْلِيْمِ القُرْانِ قَوْسًا. قَلَّدَهُ اللهُ قَوْسًا مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dlm kitab Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dlm Sunan-nya (VI/126) dari jalur Utsman bin Sa'id Ad Darimi, dari Abdurrahman bin Yahya bin Isma'il bin Ubaidillah, dari Al Walid bin Muslim, dari Sa'id bin Abdul ‘Aziz, dari Ismail bin Ubaidillah, dari Ummu Darda' Radhiyallahu 'anha] (*1).
Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Aku mengajarkan Al Qur`an & menulis kepada ahli Shuffah. Lalu salah seoarang dari mereka menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Kata hatiku, busur ini bukanlah harta, toh dapat kugunakan utk berperang fi sabilillah. Aku akan mendatangi Rasulullah & menanyakan kepada Beliau. Lalu aku pun menemui Beliau & berkata: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki nan telah kuajari menulis & membaca Al Qur`an telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Busur itu bukanlah harta berharga & dapat kugunakan utk berperang fi sabilillah”. Rasulullah bersabda:
8- إِِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا.
“Jika engkau suka dikalungkan dgn kalung dari api neraka, maka terimalah ” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Bab Abwabul Ijarah Fi Kasbil Muallim (3416); Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315 & 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125) & selainnya dari 2 jalur].
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia melihat seorang qari sedang membaca Al Qur`an lalu meminta upah. Beliau mengucapkan kalimat istirja'
(إَنَّ لِلَّهِ وَ إِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ), kemudian berkata: Rasulullah bersabda:
9-مَنْ قَرَأَ الْقُرْانَ فَالْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ, فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْانَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ.
“Barangsiapa membaca Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum nan membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada manusia”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2917); Ahmad (IV/432-433,436 & 439); Al Baghawi dlm Syarhus Sunnah (1183), dari jalur Khaitsamah, dari Al Hasan, dari Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu].
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
10-تَعَلَّمُوْا الْقُرْانَ, وَاسْأَلُوا اللهَ بِهِ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَهُ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ يِهِ الدُّنْيَا, فَإِنَّ الْقُرْانَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاَثةٌ: رَجَلٌ يُبَاهِيْ بِهِ, وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ, وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ للهِ.
“Pelajarilah Al Qur`an, & mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang 1 kaum nan mempelajarinya & meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada 3 jenis orang nan mempelajari Al Qur`an. Orang nan mempelajarinya utk membangga-banggakan diri dengannya, orang nan mempelajarinya utk mencari makan, orang nan mempelajarinya karena Allah semata”. [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (III/38-39); Al Baghawi (1182); Al Hakim (IV/547) & selainnya dari 2 jalur. Hadits ini hasan, Insya Allah. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 258].
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami. Saat itu kami sedang membaca Al Qur`an. Di antara kami terdapat orang-orang Arab & orang-orang ‘Ajam (non Arab). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
11- اِقْرَؤُوْا فَكُلٌّ حَسَنٌ, وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا تُقَامُ القِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُونَهُ.
“Bacalah Al Qur`an. Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum nan menegakkan Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia dengannya & tak mengharapkan pahala akhirat”. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (830) & Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, III/418 no. 783](*2)
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Syibl Al Anshari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Mu'awiyah berkata kepadanya: “Jika engkau datang ke kemahku, maka sampaikanlah hadits nan telah engkau dengar dari Rasulullah” Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
12- اِقْرَؤُوْا الْقُرْانَ,وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ, وَلاَ تَسْتَكْثِرُوا يِهِ, وَلاَ تَجْفُوا عَنْهُ, وَلاتَغْلُوا فِيهِ.
“Bacalah Al Qur`an, janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak harta dengannya, janganlah engkau anggap remeh & jangan pula terlalu berlebihan” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath Thahawi dlm Musykilul Atsar (4322) & Ma'anil Atsar (III/18); Ahmad (III/428 & 444) & Thabrani dlm Mu'jamul Ausath (III/273 no. 2595) dari jalur Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Sallam, dari Abu Rasyid Al Habrani, dari Abdurrahman bin Syibl Al Anshari. Sanad tersebut shahih & perawinya tsiqah].
Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali menjelaskan:
a). Hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an, & haram mencari makan darinya.
Akan tetapi jumhur ahli ilmu membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an. Mereka berdalil dgn hadits pemimpin suku nan tersengat binatang berbisa lalu diruqyah oleh sebagian sahabat dgn membacakan surat Al Fatihah kepadanya. Kisah ini diriwayatkan dlm shahih Bukhari & Muslim. Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin' Abbas radhiyallahu 'anhu, disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
اِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara nan paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.
b). Mereka menjawab hadits-hadits nan disebutkan di atas sebagai berikut:
- Mengambil upah diharamkan apabila diminta & mencari penghormatan diri.
- Hadits-hadits di atas tak terlepas dari cacat & tak bisa dijadikan sebagai dalil.
- Larangan tersebut telah dimansukhkan (dihapus) hukumnya.
c). Setelah diteliti lebih dalam, maka jelaslah bahwa jawaban-jawaban di atas sama-sekali tak memiliki dasar. Berikut ini rinciannya:
- Klaim, bahwa mengambil upah diharamkan apabila diminta & mencari penghormatan diri, ditolak oleh hadits ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu. Dalam hadits itu, hal tersebut tak disinggung, namun Rasulullah tetap melarangnya.
- Klaim, bahwa hadits-hadits di atas tak terlepas dari cacat & tak bisa dijadikan sebagai dalil, tidaklah mutlak benar. Namun ada nan shahih, hasan & ada nan dha'if, namun dha'ifnya bisa terangkat ke derajat shahih karena ada riwayat-riwayat nan menguatkannya. Dengan demikian bisa dijadikan sebagai dalil.
- Klaim, bahwa hukum di atas telah dimansukh (dihapus), maka hal ini tak boleh ditetapkan hanya dgn berdasarkan praduga belaka. Dan alternatif penghapusan hukum tak boleh diambil, kecuali bila hadits-hadits tersebut tak mungkin digabungkan & memang benar-benar bertentangan.
Siapapun nan memperhatikan hadits-hadits tersebut, tentu dapat melihat bahwa:
- Haram hukumnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an.
- Haram hukumnya mencari makan & memperoleh harta dari Al Qur`an.
Adapun dalil-dalil nan membolehkan hal tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah dari ruqyah. Jadi jelaslah, bahwa kedua masalah di atas berbeda.
Kesimpulannya, hadits-hadits di atas jelas menunjukkan larangan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an & memperoleh harta darinya. Wallahu a'lam.
[Lihat Mausu'ah Al Manahiy Asy Syar'iyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, hlm. . 212-216, Cet. I, Dar Ibnu Affan, Th. 1420, Kairo & Silsilah Ahadits Ash Shahihah, Juz 1, no. 256-260]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) pernah ditanya: “Apakah boleh seorang nan mengajarkan ilmu syar'i & Al Qur`an mengambil upah dari pengajarannya itu?” Beliau menjawab: “Segala puji bagi Allah. Mengajarkan ilmu & Al Qur`an tanpa upah, adalah seutama-utama amal & paling dicintai oleh Allah. Hal ini sudah diketahui dari agama Islam & bukanlah suatu hal nan tersembunyi bagi orang nan hidup di negara Islam; para sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, & selain mereka dari kalangan ulama nan masyhur nan berkata tentang Al Qur`an, hadits, & fiqh. Mereka mengajarkan ilmu ini tanpa upah. Belum ada di antara mereka nan mengajarkan ilmu dgn upah. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, & para nabi tak mewariskan dinar & dirham; akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa nan mengambilnya, maka dia telah beruntung. Para nabi -shalawatullah alaihim- mereka mengajarkan ilmu tanpa upah. Sebagaimana perkataan Nuh Alaihissalam, sebagaimana disebtukan dlm firman Allah surat Asy Syu'ara ayat 109, nan artinya: Aku tak meminta dari kalian upah. Sesungguhnya ganjaranku ada di sisi Rabb semesta alam.
Demikian pula nan dikatakan oleh Nabi Hud, Syu'aib, Shalih, Luth(*3) & nan lainnya. Begitu juga nan dikatakan penutup para rasul,”Katakanlah: Aku tak meminta upah dari kalian atas dakwahku & bukanlah aku termasuk orang-orang nan mengada-adakan”. (*4) Rasulullah juga berkata,”Katakanlah: Aku tak meminta upah dari kalian atas dakwahku, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang nan mau mengambil jalan tuhannya”. (Al Furqan: 57). Lihat Majmu' Fatawa (XXX/204-205).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan surat Yasin ayat 20-21:
وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَاقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّيَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dgn bergegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang nan tiada minta balasan kepadamu; & mereka adalah orang-orang nan mendapat petunjuk”.
Beliau berkata, diantara pelajaran nan terkandung dari ayat ini ialah, seorang da'i nan mengajak manusia ke jalan Allah, hendaknya dia menjauhkan diri mengambil harta dari tangan manusia meskipun mereka memberikan. Karena nan demikian itu akan mengurangi kedudukannya apabila dia menerima sebab orang nan memberikan itu karena dakwah & nasehatnya. Karena sesungguhnya para rasul -alahimus shalatu wassalam- mereka tak meminta upah dari manusia, baik dgn perkataannya maupun keadaannya; karena itu kita ini mengetahui jeleknya sebagian orang nan mereka menasihati manusia apabila setelah selesai ia berkata “Sesungguhnya saya punya kebutuhan, keluarga, & nan sepertinya”. Sehingga tujuan dari memberi nasihat itu utk dunia.
Kemudian Syaikh Utsaimin juga menjelaskan, jika mengajar, nan dia (seseorang itu) membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, maka tak apa-apa dia mengambil upah dgn dasar hadits Nabi:
إِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara nan paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah. )Hadits shahih riwayat Bukhari, 5737 dari sahabat Ibnu Abbas).
Menerima atau mengambil upah karena mengajar Al Qur`an atau da'wah, merupakan masalah nan diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama berpendapat boleh menerima upah atau mengambil upah karena mengajarkan Al Qur`an atau da'wah.
Sebagian Ulama nan lain berpendapat tak boleh. nan berpendapat seperti ini, yaitu: Imam Az Zuhri, Abu Hanifah & Ishaq bin Rahawaih. nan berpendapat boleh, mereka mengambil dalil hadits di atas nan diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas, juga beberapa hadits nan lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat dgn hafalan Qur'annya, & ini haditsnya shahih nan diriwayatkan oleh Imam Bukhari & Muslim dari sahabat Sahl bin Sa'ad.
Pendapat nan rajih (kuat) dari 2 pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an & berda'wah. Tetapi nan perlu diingat, bahwa setiap orang nan menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al Qur`an ataupun berda'wah, maka dia harus melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah & mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala ; tak boleh mengharapkan sesuatu dari manusia baik berbentuk harta maupun nan lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
14- مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menuntut ilmu, nan seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah Azza wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat”. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; & Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim & disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anh berkata: “Jikalau seorang nan berilmu mengamalkan ilmunya & mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan di antara orang-orang sezamannya. Akan tetapi mereka menyampaikan ilmu kepada pecinta dunia utk mengharapkan harta mereka, maka mereka menjadi hina”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dlm Jami' Bayanil Ilmi wa Fadlih. Lihat Shahih Jami' Bayanil Ilmi wa Fadlih, no. 746, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah & Ibnu Abi Syaibah]
Ibnu Jama'ah berkata: “Hendaknya seorang nan berilmu membersihkan ilmunya dari menjadikannya sebagai jalan utk mencapai tujuan-tujuan duniawi, baik utk mencari kehormatan, harta, ketenaran, atau merasa lebih hebat dari teman-temannya…” [Tadzkiratus Sami' Wal Mutakallim Fi Adabil ‘Alim Wal Muta'alim, hlm. 48 oleh Ibnu Jama'ah Al Kinani, wafat th. 733 H, Muhaqqaq]
Kalau seorang da'i tak mempunyai mata pencaharian nan memadai, & dia waktunya habis utk mengajar & berdakwah, maka dibolehkan menerima upah. Dan kepada Ulil Amri (penguasa atau pemerintah), selayaknya memberikan imbalan nan setimpal, karena dia mengajar kaum muslimin, sebagaimana dijelaskan oleh Al Khatib Al Baghdadi dlm kitab Al Faqih Wal Mutafaqqih (II/347), tahqiq ‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi.
Demikianlah sebagian nan dapat saya tulis tentang masalah ini, nan berkaitan dgn mengambil upah dari mengajarkan Al Qur'an & berda'wah. Wallahu a'lam bish shawab.
kesimpulan  bisa diambil dari masalah ini ialah:

1. Seorang da'i dianjurkan utk mencari nafkah nan halal.
2. Hidup dgn menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela & hina.
3. Malas merupakan sifat nan tercela; & sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari sifat malas.
4. Islam melarang meminta-minta atau mengemis utk kepentingan pribadi.
5. Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat & nikmat.
6. Mencari nafkah tak menghalangi seseorang utk menuntut ilmu syar'i.
7. Mencari nafkah tak menghalangi seorang da'i utk menyampaikan dakwahnya.
8. Para nabi & rasul, mereka semua tak meminta upah dari manusia sebagaimana Allah sebutkan dlm ayat-ayat Al Qur`an.
9. Menurut jumhur ulama, menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an & berda'wah adalah diperbolehkan, namun menjadikannya sebagai tujuan utk mendapatkan ma'isyah (mata pencaharian) adalah terlarang.
10. Selayaknya bagi Ulil Amri atau orang nan kaya menjamin kebutuhannya sehari-hari, sehingga dia dapat memaksimalkan waktu & tenaganya utk mengajar Al Qur`an & berda'wah.
11. Kalau tak ada nan menjamin dari Ulil Amri maupun orang nan kaya, maka seorang da'i harus dapat membagi waktunya utk mencari nafkah & berdakwah. tak boleh dia bergantung kepada mad'u (muridnya).
12. Seseorang, sekali-kali tak boleh berharap kepada manusia. Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: “Hendaknya kalian berputus asa kepada apa nan ada di tangan manusia, niscaya engkau akan menjadi orang nan kaya”. (Lihat Silsilah Ahaadits Ash Shahihah, no. 401, 1914, hadits hasan).
13. Mengajar Al Qur'an & berda'wah adalah amalan nan paling baik & ganjarannya sangat besar. Oleh karena itu, keutamaan nan sangat besar ini janganlah dihapuskan dgn tujuan-tujuan duniawi nan fana & remeh.
14. Setiap muslim, apalagi seorang da'i, haruslah mengharap hanya kepada Allah saja & mengadukan kesulitan kepadaNya, insya Allah diberikan jalan keluar nan terbaik.

3 komentar:

  1. Setahu saya ada kalangan dari umat islam yg mereka sama sekali tidak meminta gaji,
    upah, infaq, sedekah, sumbangan, atau apalah yang bentuknya barang maupun uwang,
    sedikitpun mereka tidak meminta/mengharap imbalan dari
    dakwahnya itu. Malah sebaliknya merekalah yang mengorbankan meteri, tenaga, dan perasaannya
    sebagaimana yang telah dijalani para nabi.Banyak ayat-ayat yg melarang meminta upah dari hasil
    dakwah kurang lebihnya ada 15 ayat dalam Qur'an.
    Orang2 menyebutnya JT jama'ah Tablig.Saya yakin sebagian besar dari organisasi2 islam sudah
    mengenalnya khususnya kalangan dari Salafy.Tapi gak tau kenapa mereka disebut sebagai aliran
    sesat.Khususnya kalangan dari salafy mengatakan mereka adalah aliran paling berbahaya, sesat lagi
    menyesatkan.Diseluruh pendunia mereka selalu bergerak dengan dakwahnya, mereka ini tidak memilih-milih
    tempat jika hendak berdakwah dan mereka tidak pernah merasa takut dengan wilayah yang akan mereka
    datangi, mereka mendatangi bukan menunggu diundang.
    Hanya saja para penduduklah yang selalu tidak mau menerima mereka khususnya DKM mesjidnya,
    mungkin semua ini karena maraknya berita2 kesesatan mereka yg tersebar luas di berbagai media.

    Yang saya pertanyakan :
    Adakah organisasi lain yang benar2 iklas dalam berdakwah, menyampaikan ilmu,
    mengajak pada kebaikan, memberikan tarbiyah, dengan ikhlas karna Allah?
    (tidak meminta imbalan bahkan mengharappun tidak) apa itu sekedar uang lelah, capek,
    ongkos, ucapan terimakasih, dll?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. jangan mempermasalahkan ihklasnya klo ridho sama ridho Allah pasti Ridha... dan pasti ada, contohnya blog ini, saya baca tampa diminta imbalan alias gratis dr penulis blog ini.

      Hapus